Profesionalitas berarti bersikap profesional. Seorang profesional memiliki etos kerja. Seorang profesional bukan seorang yang mudah menyerah. Seorang profesional mempunyai tanggung jawab. Seorang profesional mampu menomorsatukan kepentingan pekerjaan dan kepentingan pribadi.
Seorang peneliti dituntut profesionalitasnya dalam menyusun karya ilmiahnya. Baik ide, proses, maupun hasil harus dapat dipertanggungjawabkan. Seorang peneliti juga tidak boleh menyerah dalam menyusun karya ilmiahnya. Dan juga, ia juga harus dapat mengesampingkan kepentingan pribadinya.
Pada postingan ini, penulis akan berbagi pengalaman mengenai profesionalitas bagi peneliti yang saya alami tahun lalu. Suatu hari, penulis dan teman-teman diutus untuk mengikuti lomba karya ilmiah tingkat provinsi. Hanya saja, undangan dari sekolah datang pada pukul 10.00, sedangkan lomba dimulai pukul 15.00. Walhasil, kami hanya mempunyai waktu lima jam untuk persiapan. Hal tersebut belum dikurangi waktu untuk perjalanan Magelang - Semarang yang memakan waktu dua jam. Bagi penulis, hal tersebut bukan masalah berarti karena karya tulis yang penulis buat bertemakan sosial. Namun, bagi teman saya yang diharuskan membawa produknya, ia menjadi sangat panik. Bagaimana tidak, dalam waktu sesingkat itu, ia harus membuat produk yang notabene baru jadi setelah satu hari. Namun, ia kemudian diberi saran untuk segera membuatnya, memanfaatkan waktu yang ada. Mengeluh hanya menghabiskan waktu. Hasilnya memang tidak seberapa, dan kami pun tidak menang. Namun, kami belajar bahwa seorang peneliti, di mana pun, ia dituntut untuk cepat bertindak tanpa mengeluh. Hal ini merupakan bagian dari profesionalitas.
Lain lagi ceritanya ketika penulis dan teman hendak mengikuti lomba Krenova (Kreasi dan Inovasi) tingkat provinsi. Waktu yang diberikan hingga lomba tergolong cukup lama, hingga hampir dua bulan. Seharusnya, dalam waktu selama itu, penulis dapat mengembangkan produk yang jauh lebih jadi dan siap pakai. Namun, selalu saja ada alasan untuk menunda, hingga tersisa waktu dua pekan, penulis baru memperiapkan secara serius. Namun, pekerjaan yang dilakukan mendekati dealine, biasanya kurang maksimal. Jika bukan terburu-buru dalam proses, biasanya terburu-buru dalam mencari bahan. Bahkan, ramuan mujarab macam etilenglikol, yang disarankan guru saya, tidak digunakan dan hanya menggunakan gliserol yang terdapat di pasaran. Hasilnya memang (sedikit) lebih maju, namun tetap tidak memenuhi harapan karena produk jadi, tidak terbentuk dan hanya ada barang yang setengah jadi. Jika saja penulis bisa lebih memanfaatkan waktu, mungkin hasil yang didapat lebih siap jadi dan dapat diaplikasikan.
Dari dua pngalaman di atas, dapat kita simpulkan bahwa sikap profesional bagi peneliti sangatlah dibutuhkan. Sekian dari penulis, semoga bermanfaat.