Jumat, 13 Desember 2013

Suku Moriori, Budaya Polinesia yang Kini Punah

Suku Moriori merupakan penduduk asli (native/indigenous) dari Pulau Chatham (Rekohu dalam bahasa Moriori, Wharekauri dalam bahasa Maori) dan Pulau Pitt (Rangihaute), yang terletak sekitar 700 kilometer sebelah tenggara kota Wellington, Selandia Baru, di Lautan Pasifik. Masyarakat suku ini hidup dalam adat yang menghindari peperangan dan perlawanan, yang membuat suku Taranaki Maori dapat dengan mudah menginvasi pulau Chatam dan nyaris melenyapkan suku tersebut.

Nenek Moyang dan Asal Usul
Dalam silsilah Moriori, nenek moyang mereka termasuk dalam suku Wheteina dan suku Rauru dari Hawaiki, yang datang ke Rekohu dengan perahu kano. Mereka bercampur dengan orang-orang yang lebih dahulu datang ke Rekohu. Orang-orang ini merupakan suku Hamata, yang diturunkan melalui nenek moyang mereka, yaitu Rongomaiwhenua,
Hingga awal abad ke-20, secara umum diyakini bahwa suku Moriori adalah penduduk Selandia Baru pra-Maori, secara bahasa mereka dan genetik mereka berbeda dari suku Maori, diperkirakan berasal dari suku Melanesia. Cerita ini, kemudian berkembang menjadi hipotesis "Great Fleet" yang dikemukakan oleh Stephenson Percy Smith, yang dikenal luas selama awal abad ke-20.

Budaya
Suku Moriori secara budaya merupakan suku Polinesia. Mereka mengembangkan budaya Moriori yang berbeda dikarenakan mereka menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya. Meskipun terdapat perkiraan bahwa suku-suku Polinesia datang ke pulau ini langsung dari pulau-pulau tropis di Timur Pasifik, atau mereka memang berasal dari Melanesia, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa mereka merupakan suku Maori yang bermigrasi meninggalkan Selandia Baru menuju pulau tersebut sekitar tahun 1500 Masehi.
Lingkungan pulau Chatham (Rekohu) tidak cocok bagi kegiatan pertanian, sehingga mereka menganut cara hidup berburu dan meramu (hunter-gatherer). Bahan makanan hampir keseluruhannya berasal dari laut, yaitu protein dan lemak dari ikan, anjing laut berbulu, dan burung laut yang muda. Pulau tersebut mendukung kehidupan bagi sekitar 2000 orang.

Hukum Nunuku
Terpisah dari daratan Selandia Baru, mereka mengembangkan budaya yang berbeda berdasarkan hukum perdamaian. Hukum ini dinamakan Hukum Nunuku, dinamai setelah nenek moyang mereka, Nunuku-whenua. Setelah melihat konflik berdarah antara suku Hamatan dan penduduk pendatang, beliau melarang pembunuhan dan memakan daging manusia selamanya.

Pendatang Baru
Setelah tahun 1791, kapal Inggris Chatham mendarat di Rekohu, suku Moriori mulai melakukan kontak dengan orang Inggris dan Maori yang menjadi awak kapal pemburu paus. Beberapa awak bermukim dan hidup berdampingan dengan suku Moriori. Kehidupan mereka yang damai pecah pada tahun 1835, ketika dua suku Maori, Ngati Mutunga dan Ngati Tama, keduanya berasal dari Taranaka, datang di Pulau Chatham dalam rangka pencarian wilayah dan sumber daya baru.

Penyerangan Suku Moriori
Suku Ngati Tama dan Ngati Mutunga mulai membunuh dan memperbudak suku Moriori. Meskipun jumlah suku Moriori lebih banyak, dengan perbandingan dua banding satu, mereka lebih memilih untuk mematuhi Hukum Nunuku dan tidak menyerang balik. Sekitar 300 orang dibunuh, dan sisanya diperbudak. Suku ini dalam bahaya untuk dimusnahkan seluruhnya. Menindaklanjuti beberapa petisi dari suku Moriori, pemerintah Selandia Baru akhirnya bertindak setelah 28 tahun. Meskipun demikian, sebuah perjanjian tanah pada 1870 memberikan sebagian besar tanah Pulau Chatham kepada suku Ngati Tama dan Ngati Mutunga, meskipun pada saat itu, kedua suku tersebut telah kembali ke kampung halamannya di Taranaki.

Upaya Penghidupan Kembali
Jumlah anggota suku Moriori pada tahun 1835 sekitar 1600 orang, namun kurang dari 30 tahun kemudian, jumlah tersebut menyusut menjadi hanya 100 orang saja. Banyak orang percaya bahwa Tommy Solomon, meninggal pada tahun 1933, adalah anggota suku Moriori terakhir yang berdarah murni. Pada tahun 1980-an, mulai diterima bahwa suku Moriori memiliki nenek moyang yang sama dengan Maori, dan kini mempunyai keturunan yang masih bertahan. Pada tahun 1990-an, budaya dan identitas Moriori mulai dibangun kembali. Sebagai hasil dari Perjanjian Waitangi, suku Moriori diakui sebagai penduduk asli Pulau Chatham.
Etnis Moriori di Pulau Chatham juga aktif dalam kegiatan pelestarian, perikanan, pariwisata, dan lain-lain. Bahasa Moriori secara perlahan dihidupkan kembali. Pada tahun 2005, etnis Moriori merayakan pembukaan marae (semacam rumah adat) dan pusat budaya mereka, Te Kopinga. Pada sensus 2006, 945 orang menyatakan diri sebagai keturunan Moriori.

Galeri

Ukiran pada kulit kayu khas Moriori

Ukiran kulit pohon khas Moriori

Sumber:
"Moriori people" (http://en.wikipedia.org/wiki/Moriori_people, diakses pada 13 Desember 2013)
"Moriori" (http://www.teara.govt.nz/en/moriori, diakses pada 13 Desember 2013)
"Nunuku-whenua" (http://en.wikipedia.org/wiki/Nunuku-whenua, diakses pada 13 Desember 2013)

0 komentar:

Posting Komentar