Sabtu, 21 Desember 2013

Apakah Pernah Ada Etnis Negrito di Taiwan?

"Sebagai penghormatan bagi orang pendek berkulit hitam"
Begitulah judul dari sebuah artikel tahun 2004 di Taipei Times. Subjudulnya cukup mengherankan: "Suku Saisiyat dari Hsinchu dan Miaoli akan mengadakan ritual dengan khidmat pada akhir pekan ini untuk memperingati sebuah bangsa yang mereka lenyapkan".

Upacara minum, menyanyi, dan menari diperkirakan akan dilangsungkan di hutan lebat di pegunungan Hsinchu dan Miaoli ketika "Ritual Orang Hitam Pendek" ditampilkan oleh suku Saisiyat di akhir pekan ini.  
Sejak 100 tahun belakangan, suku Saisiyat telah menampilkan nyanyian dan tarian pada festival tersebut untuk mendapatkan hasil panen yang baik, melindungi dari kekuatan jahat, dan menjaga supaya jiwa sebuah bangsa dikatakan lebih dahulu bermukim di Taiwan dibanding bangsa-bangsa lainnya tetap hidup.

Penduduk Taiwan sebagian besar berasal dari keturunan Cina Han yang mengolonisasi pulau ini setelah direbut dari Belanda oleh seorang loyalis Dinasti Ming, Koxinga. Sebelum mereka, terdapat suku bangsa yang kini persentasenya turun hingga hanya dua persen, yaitu suku asli Taiwan, seperti suku Saisiyat, yang bertutur bahasa dalam rumpun Austronesia, yang kini penggunaannya sedang digalakkan kembali. Meskipun kronologi asal-usulnya masih dalam perdebatan para ahli, bukti-bukti dari linguistik, genetik, dan arkeologi menunjukkan bahwa Taiwan adalah Urheimat (kampung halaman) dari rumpun Austronesia, yang berarti bahwa di Taiwan-lah dahulu dituturkan akar dari pohon bahasa-bahasa yang kini dituturkan secara luas dari Madagaskar ke Pulau Paskah, dan dari Hawaii ke Selandia Baru.


Suku Aeta di Filipina
Lalu, kepada siapa suku Saisiyat memperingati? Negrito, seperti yang artikel ini klaim, adalah sebuah suku bangsa yang memiliki ciri-ciri tubuh pendek, mirip dengan orang Afrika yang kini menjadi penduduk asli di Kepulauan Andaman, India (lihat artikel sebelumnya tentang suku Sentinel, red.), dan tersebar di seluruh Semenanjung Malaya dan pulau-pulau di Asia Tenggara (misal suku Aeta seperti gambar di samping). Kecuali penduduk asli Andaman, suku-suku ini telah sangat termarginalisasi atau terpinggirkan oleh bangsa petani dari rumpun Austroasiatik dan Austronesia, yang bahasanya mereka adopsi. Bukti nyata keberadaan mereka di kawasan Asia Timur lebih jarang, namun diyakini mereka mengalami nasib yang sama. Beberapa yang patut disebut, meskipun masih ragu, para antropolog menemukan beberapa kelompok suku yang mempunyai ciri fisik serupa dengan Negrito, seperti di Tasmania, Yaman (suku Al-Akhdam), dan Jepang (suku Ainu).
Lanjutan artikel ini:
Sejarawan Cina menyebut mereka "kurcaci hitam" pada masa "Tiga Kerajaan" (220-280 Masehi) dan mereka masih dapat ditemukan pada masa dinasti Qing (1644-1911). Di Taiwan, mereka disebut sebagai "Orang Hitam Pendek", Di samping sebagai orang yag pendek, mereka juga dikatakan mempunyai hidung yang lebar, kulit hitam, dan rambut keriting.
Penulis mempertanyakan keabsahan klaim dari Dinasti Qing, namun kemunculan Negrito di Cina daratan adalah bahan bagi artikel lain. Kesan pertama, Negrito mempunyai genetik secara genetis cukup berbeda dengan orang Afrika Subsahara, dan genetika di antara mereka cenderung berbeda-beda. Kekerabatan paling dekat terletak pada penduduk Asia. Lanjutan artikel tersebut menceritakan sebagai berikut:
Setelah "Orang Hitam Pendek", sebelum adanya gelombang migrasi bangsa Cina Han ke Taiwan, datanglah suku-suku asli Taiwan, yang merupakan bagian dari ras Austronesia... Jumlah mereka perlahan-lahan semakin berkurang, hingga sekitar 100 tahun lalu, hanya ada sebuah kelompok kecil yang tinggal dekat suku Saisiyat.
Cerita kemudian berlanjut bahwa "Orang Hitam Pendek" mengajari Suku Saisiyat bercocok tanam dengan menyediakan benih dan benihnya mereka gunakan bersama. Namun, suatu hari, seorang dari "Orang Hitam Pendek" tersebut melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa perempuan suku asli. Lalu, suku Saisiyat melakukan balas dendam dan membunuh mereka dengan memotong sebuah jembatan di mana di atasnya "Orang Hitam Pendek" sedang menyeberang. Hanya dua "Orang Hitam Pendek" yang tersisa. Sebelum meninggal, mereka mengajari suku Saisiyat tentang budaya mereka dan mewariskan beberapa lagu mereka, dan mengatakan bahwa apabila suku Saisiyat tidak mengingat mereka, maka suku Saisiyat akan dikutuk dan panen mereka akan gagal.
 Dengan tujuan sebagai argumen, mari kita anggap cerita ini lebih mengandung unsur "cerita" daripada "kenyataan" tentang bangsa Negrito. Pada masa kontak dengan penjelajah Eropa, seluruh suku-suku Negrito adalah pemburu-pengumpul, yang membuat hubungan mereka dengan bercocok tanam sedikit membingungkan. Beberapa kelompok di Asia Tenggara dilaporkan mempraktikkan pertanian berpindah, yang sering dirasa sebagai berasal dari tetangga mereka yang merupakan ras Austronesia. Beberapa yang lain mengkritisi anggapan ini sebagai dibuat-buat, dan berargumen bahwa "boleh jadi pernah ada pertanian pada bangsa Negrito di masa lampau". Tentu saja, tema "pemberian benih" mempunyai arti yang lain.

Berkaitan dengan penanggalan cerita ini (100 tahun lalu), Michael Cork dalam A Brief History of the Human Race (2005) menyatakan "Telah jelas bahwa pada zaman dahulu terdapat bangsa Negrito yang mendiami gua-gua di Taiwan hingga abad ke-19," yang mungkin merupakan "sisa-sisa dari migrasi manusia modern paling awal yang menyusuri pantai dari Asia Tenggara." Apakah Cook mendasari pernyataanya dari sebuah sumber di luar legenda tidak penulis ketahui, namun hal tersebut tidak tampak sebagai bagian dari kajian antropologi fisik. Banyak pengamat dari Eropa menduga bahwa suku-suku Negrito tetap bertahan di wilayah perbukitan di Taiwan, namun penyelidikan mereka gagal menemukan sesuatu yang pasti.

Suku Saisiyat menjaga janjinya dan telah melaksanakan ritual memperingati "Orang Hitam Pendek" setiap tahun, meskipun mereka jarang melaksanakannya pada masa kolonial Jepang (1895-1945). Kini ritual tersebut dilaksanakan setiap dua tahun pada bulan penuh bulan ke-10 pada kalender bulan, dengan festival besar sekali dalam sepuluh tahun. Pada waktu tersebut, Suku Saisiyat dilarang berperang dan mereka berkumpul di tanah leluhur mereka di pegunungan Hsinchu dan Miaoli.
Bangsa Pigmi dari Asia?
Cerita yang lebih baru dari Reuters menceritakan kisah yang nyaris sama -apabila faktanya lain- yang menyarankan bahwa kematian "Orang Hitam Pendek" tersebut terjadi pada masa yang lebih tua, yaitu sekitar "1000 hingga 2000 tahun yang lalu". Berikut cuplikan yang cukup menarik:
Badan Urusan Aborigin Taiwan diam-diam mengakui adanya suku berkulit hitam, yang dinamakan "Suku Orang Pendek". Beberapa sarjana menyebutkan, kira-kira terdapat 90.000 orang dari suku ini yang pernah hidup di Taiwan.
Kepada siapa para sarjana ini mungkin merujuk, artikel ini tidak menyebutkan. "Secara diam-diam" mungkin merupakan alasan yang baik. Sebuah artikel tahun 2004 melaporkan:
Pemimpin suku asli menyerukan ketenangan setelah sebuah protes meletus atas laporan media bahwa Wakil Presiden Annette Lu mengklaim adanya sebuah bangsa yang telah punah yang disebut "pigmi hitam" yang merupakan orang-orang penduduk asli pertama di Taiwan, bukan suku-suku asli Taiwan dan etnis Cina.
[...]
Mereka meminta Wakil Presiden Annette Lu untuk meminta maaf atas kata-katanya. yang mereka anggap mendukung penghinaan kepada suku-suku asli Taiwan. Lu bersikeras atas tekanan yang kuat, di mana ia menjelaskan bahwa kata-katanya dipakai di luar konteks dan maknanya dikaburkan oleh "para tukang fitnah" dan media, yang dia sebut sebagai sebuah kampanye ganas dari sebuah "teror gelap". Pada hari Kamis, Lu, berbicara pada sebuah konferensi pers di depan hadirin bahwa sebuah ras "kurcaci" atau "pigmi hitam" yang kini lenyap merupakan orang-orang yang pertama hidup di Taiwan 10 ribu hingga 20 ribu tahun yang lalu.
Sejajar dengan penerimaan Manusia Kennewick dan Lukisan Bradshaw yang jelas-jelas nyata, mari kita mundur selangkah sejenak. Bagaimanapun arti dari cerita suku Saisiyat, harus diakui bahwa pada kasus adanya Negrito di Taiwan, terdapat kurang cukup bukti yang nyata dan jelas. Bahkan cerita rakyat dari suku asli Taiwan (cerita orang pendek ini tidak hanya terdapat di suku Saisiyat) lebih membingungkan dari bukti-bukyi keberadaan suku Negrito yang harus kita yakini.
Pada Image of the Wildman in Southeast Asia (2008:252), Gregory Forth mencantumkan pernyataan Raleigh Ferrell 1968, yang menggarisbawahi "Suku-suku asli Taiwan tidak cocok dengan orang pendek yang berkulit gelap". Lebih jauh tentang hal ini, Forth mengamati, "Cerita rakyat ini mengandung sangat sedikit tentang ciri fisik mereka secara keseluruhan," dan gambaran yang mereka ajukan bertentangan dan secara biologis tidak masuk akal.
Suku Saaroa di selatan Taiwan menggambarkan bahwa "kurcaci" tersebut memiliki tinggi 1-1,2 meter, sedangkan suku Bunun (termasuk yang paling pendek di antara suku asli Taiwan, dengan rata-rata tinggi badan kurang dari 1,59 meter) menyatakan bahwa "kurcaci" tersebut memiliki tinggi 60 sampai 90 cm (Ferrell 1969: 61). Sebuah kelompok dari suku Paiwan, memperkirakan sekitar 60 cm, sedangkan suku Saisiyat mengatakan tingginya sekitar satu meter(Pan 1999:27). Suku Saaroa juga menggambarkan bahwa ras orang pendek tersebut memiliki rambut keriting dan berwarna 'merah', yang bertentangan dengan bukti bahwa seluruh suku asli Taiwan memiliki rambut hitam yang lurus. Suku Bunun mengatakan bahwa ras tersebut memiliki ekor, namun tidak mempunyai anus, oleh karena itu mereka tidak dapat makan makanan padat dan hanya dapat 'menghirup uapnya'. Suku asli yang lain (Tsou, Rukai, Paiwan) yang percaya bahwa mereka "tinggal di bawah tanah, menghirup bau makanan" tidak menyatakan bahwa mereka adalah ras kurcaci (ibid.:66, Mabuchi 1964); oleh karenanya, makhluk berekor yang dikenal oleh suku Bunun boleh jadi mewakili perpaduan dua makhluk yang berbeda.
Meskipun demikian, Forth secara hati-hati menitikberatkan bahwa tidak ada kasus bahwa "ras kurcaci" yang digambarkan berambut (tidak seperti Orang Pendek di Sumatera dan Ebu Gogo di Flores). Mereka secara khusus dikaitkan dengan pegunungan atau gua, telah mengenal bercocok tanam "padi atau tebu" dan sering dikatakan telah membuat "gerabah, tombak, dan pisau," atau bahkan struktur megalitik. Adapun hubungan antara non-agrikultural dengan orang-orang bertubuh normal, tidak hanya suku Saisiyat, namun juga Suku Atayal, Bunun, dan Saaroa yang mengklaim telah melenyapkan atau memerangi suku tetangga mereka yang lebih kecil tubuhnya.

Penutup
Cerita tersebut tidak diragukan lagi cukum mengagumkan namun, hingga akhir ini, tidak ada yang lebih meyakinkan daripada (mengatakan) sebuah kumpulan kerangka liliput yang dikebumikan bersama alat-alat dari baru kecil. Pada saat yang sama, sepertinya tampak bahwa mereak mempunyai bukti disingkirkannya orang-orang pra-Formosa oleh leluhur dari apa yang sekarang disebut "suku asli". Penduduk manusia paling awal yang diketahui di Taiwan adalah budaya Changbinian pada akhir era Pleistosen. Kedatangan bangsa Proto-Austronesia sepertinya datang lebih belakangan (contohnya, apa yang dikatakan oleh Tianlong Jiao sebagai "kemunculan yang tiba-tiba" dari budaya Dapenkeng sekitar 4000 SM)(2007:89-91). Apakah mereka merebut pulau tersebut dari bangsa Negrito tampaknya di luar bukti-bukti yang ada. Penulis tidak mengetahui tentang adanya kerangka dari era Paleolitik di Taiwan), namun barangkaliarkeolog Taiwan lebih mengetahui apa yang penulis tidak tahu.

Sumber:
"Were the Negritos on Taiwan" (http://www.ahnenkult.com/2010/05/27/hello-world/, diakses pada 22 Desember 2013)

Rujukan Terpilih:
Ferrell, R. (1968). ‘ “Negrito” ritual and traditions of small people on Taiwan’. In N. Matsumoto and T. Mabuchi, eds. Folk religion and the worldview in the south- western Pacific. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, pp. 63–72.
——– (1969). Taiwan aboriginal groups: Problems in cultural and linguistic classification. Nankang, Taipei, Taiwan: Institute of Ethnology Academia Sinica.
Forth, G. (2008). Images of the Wildman in Southeast Asia: An Anthropological Perspective. Routledge, pp. 251-258.
Jiao, T. (2007). The neolithic of southeast China: cultural transformation and regional interaction on the coast. Cambria Press, pp. 89-91.
Mabuchi, T. (1974). Ethnology of the southwestern Pacific: The Ryukyus-Taiwan-Insular Southeast Asia. Asian Folklore and Social Life Monographs Vol. 59. Taipei: The Orient Cultural Service.
Pan, C. 1999. ‘A study of the paSta’ay (small people ceremony) and heavenly god ceremony of the Saisiat’. Master’s Thesis for the Institute of Ethnology, National Chengchi University. (In Chinese, passages translated for [Gregory Forth] by F. Hsu).

Lihat Pula:
"Negrito" (http://en.wikipedia.org/wiki/Negrito)

1 komentar:

  1. walaupun sedikit, kemungkinan ada suku kecil berkulit hitam, seperti halnya suku papua ada di Indonesia

    BalasHapus