“Sudah kita dengar pula
perumpamaan orang yang setia bersahabat dan berkasih-kasihan. Sekarang
ceritakanlah pula perumpamaan musuh yang jahat yang tidak mau padam
permusuhannya, sekalipun ia telah menjadi kawan pada lahirnya.”
“Ampun, Tuanku,” sembah Baidaba, “musuh yang semacam itu
adalah sejahat-jahat musuh, dan orang yang mau mempercayainya tak boleh tidak
binasa juga kesudahannya. Serupalah halnya, dengan burung hantu yang percaya
kepada musuhnya gagak, dan dapat diperdayakan oleh musuhnya itu.”
“Ceritakanlah
hikayatnya, kita dengar.”
“Adalah tumbuh sebatang pohon beringin yang amat besar di
puncak gunung yang tinggi. Pada pohon itu bersarang burung gagak tiada
tepermanai banyaknya diperintah seekor rajanya. Agak jauh dari pohon itu ada
sebuah gua batu tempat kediaman burung hantu, sangat pula banyaknya, dan
diperintah oleh seekor rajanya pula. Antara kedua bangsa burung itu sudah lama
timbul perasaan bermusuhan, tinggal menunggu waktu pecahnya saja lagi. Maka
pada suatu malam keluarlah raja burung hantu bersama-sama dengan bala
tenteranya, pergi menyerang kediaman gagak. Dalam gelap gulita itu tiadalah
gagak berdaya menangkis serangan musuhnya, maka banyaklah yang mati dan
luka-luka.
Setelah hari siang berhimpulah rakyat gagak datang
menghadap rajanya, mengatakan hal mereka semalam itu, ‘Ampun, Tuanku beribu
ampun,’ sembah mereka itu. ’Malang celaka kami ini diserang burung hantu
semalam-malaman. Beratus-ratus mati, dan yang tinggal banyak yang patah-patah,
banyak yang luka-luka, ada yang habis tercabut bulunya, dan selain itu banyak
yang menanggung bermacam kesengsaraan. Dalam pada itu lebih-lebih takut kami, kalau musuh itu berulang-ulang
datang menyerang kita. Padahal tiadalah daya pada kami melainkan memohonkan
perlindungan Tuanku jua semata-mata. Jika tiada Tuanku lindungi binasalah kami
kesemuanya.‘
Syahdan di bawah raja gagak adalah
mentri lima orang yang membantu memerintah, lawan raja musyawarat sehari-hari.
Mendengar sembah hamba rakyatnya dipanggilnyalah kelima mentri itu menghadap,
diajak berunding.
‘Engkau, hai mentriku yang pertama,
bagaimanakah pemandanganmu? Apakah yang baik kita perbuat terhadap musuh kita
itu?‘
‘Ampun, Tuanku, pemandangan patik
tiada lain melainkan apa yang telah dipetuahkan cerdik cendekia jua, yakni
musuh yang jahat hendaklah dijauhi. Jadi jika hendak selamat, haruslah kita
pindah dari sini, pergi diam ke tempat lain‘
‘Engkau, hai mentri yang kedua, apa
pulakah pemandanganmu?‘ kata raja setelah mendengar sembah mentri yang pertama.