Rabu, 05 Februari 2014

Hikayat Gagak dengan Burung Hantu

“Sudah kita dengar pula perumpamaan orang yang setia bersahabat dan berkasih-kasihan. Sekarang ceritakanlah pula perumpamaan musuh yang jahat yang tidak mau padam permusuhannya, sekalipun ia telah menjadi kawan pada lahirnya.”
            “Ampun, Tuanku,” sembah Baidaba, “musuh yang semacam itu adalah sejahat-jahat musuh, dan orang yang mau mempercayainya tak boleh tidak binasa juga kesudahannya. Serupalah halnya, dengan burung hantu yang percaya kepada musuhnya gagak, dan dapat diperdayakan oleh musuhnya itu.”
            Ceritakanlah hikayatnya, kita dengar.”
            “Adalah tumbuh sebatang pohon beringin yang amat besar di puncak gunung yang tinggi. Pada pohon itu bersarang burung gagak tiada tepermanai banyaknya diperintah seekor rajanya. Agak jauh dari pohon itu ada sebuah gua batu tempat kediaman burung hantu, sangat pula banyaknya, dan diperintah oleh seekor rajanya pula. Antara kedua bangsa burung itu sudah lama timbul perasaan bermusuhan, tinggal menunggu waktu pecahnya saja lagi. Maka pada suatu malam keluarlah raja burung hantu bersama-sama dengan bala tenteranya, pergi menyerang kediaman gagak. Dalam gelap gulita itu tiadalah gagak berdaya menangkis serangan musuhnya, maka banyaklah yang mati dan luka-luka.
            Setelah hari siang berhimpulah rakyat gagak datang menghadap rajanya, mengatakan hal mereka semalam itu, ‘Ampun, Tuanku beribu ampun,’ sembah mereka itu. ’Malang celaka kami ini diserang burung hantu semalam-malaman. Beratus-ratus mati, dan yang tinggal banyak yang patah-patah, banyak yang luka-luka, ada yang habis tercabut bulunya, dan selain itu banyak yang menanggung bermacam kesengsaraan. Dalam pada itu lebih-lebih takut kami, kalau musuh itu berulang-ulang datang menyerang kita. Padahal tiadalah daya pada kami melainkan memohonkan perlindungan Tuanku jua semata-mata. Jika tiada Tuanku lindungi binasalah kami kesemuanya.‘
            Syahdan di bawah raja gagak adalah mentri lima orang yang membantu memerintah, lawan raja musyawarat sehari-hari. Mendengar sembah hamba rakyatnya dipanggilnyalah kelima mentri itu menghadap, diajak berunding.
            ‘Engkau, hai mentriku yang pertama, bagaimanakah pemandanganmu? Apakah yang baik kita perbuat terhadap musuh kita itu?‘
            ‘Ampun, Tuanku, pemandangan patik tiada lain melainkan apa yang telah dipetuahkan cerdik cendekia jua, yakni musuh yang jahat hendaklah dijauhi. Jadi jika hendak selamat, haruslah kita pindah dari sini, pergi diam ke tempat lain‘
            ‘Engkau, hai mentri yang kedua, apa pulakah pemandanganmu?‘ kata raja setelah mendengar sembah mentri yang pertama.

            ‘Ampun, Tuanku, pendapat patik sesuai dengan pendapat saudara patik, mentri yang pertama.‘
            ‘Pada hematku,‘ sabda raja gagak. ‘Belumlah perlu kita meninggalkan tempat kita ini, kalau hanya karena baru sekali itu diserang musuh. Jauh lebih baik kita himpunkan tentera kita coba mendatangi musuh itu ke tempatnya. Siapa tahu kalau-kalau dapat kita mengalahkan mereka. Sungguhpun demikian, hai mentriku yang ketiga, engkau apa pulakah pemandanganmu?‘
            ‘Ampun, Tuanku, patik tiada sesuai dengan kedua saudara patik itu. Pemandangan patik baiklah kita urus semata-mata menyelidiki apa kemauan burung hantu itu memerangi kita. Jika maksudnya hanya hendak beroleh harta, baiklah kita berdamai saja, berjanji kita akan membayar upeti kepadanya, berapa patutnya tiap-tiap tahun. Raja yang bijaksana tiada sayang mengeluarkan harta untuk memelihara diri, rakyat, dan kerajaan daripada bahaya musuh.‘
            Setelah raja gagak mendengar kata menteri yang ketiga, bertanyalah pula ia kepada mentri yang keempat. ‘Engkau apa pemandanganmu, hai mentriku?‘
            ‚Ampun, Tuanku, patik tiada sesuai dengan pendapat saudara patik yang ketiga itu. Daripada membayar kepada musuh yang jauh lebih hina daripada kita, relakah patik pindah dari tempat ini. Lebih-lebih pada rasa patik tiada juga akan suka burung hantu menerima upeti kita itu, kecuali kalau kita mau membayar lebih daripada patut. Orang tua-tua telah berkata, dekatilah musuhmu sekadarnya, supaya tercapai apa yang engkau maksud. Tetapi jangan terlalu engkau dekati, supaya jangan dipijaknya kepalamu. Tongkat jika dimiringkan tegaknya sekadarnya, panjang bayang-bayang. Tetapi jika lebih dari semestinya bayang-bayang  bertambah pendek tidak bertambah panjang. Oleh sebab itu patik sesuai dengan Tuanku lebih baik kita perangi musuh itu.‘
            ‘Maka bertanya pula raja gagak kepada mentrinya yang kelima, ‘Engkau apa pulakah pemandanganmu, hai mentriku yang bijaksana? Berperangkah, damaikah, atau pindah dari sini?‘
            ‘Ampun, Tuanku beribu-ribu ampun,‘ sembah mentri itu. ‘Adapun berperang, maka sekali-kali tiadalah jalan bagi kita akan memerangi musuh yang tak berdaya kita melawannya. Orang tua-tua berkata, barangsiapa yang tidak tahu diri, tiada pula tahu akan musuhnya, berani memerangi orang yang tiada akan terlawan olehnya, ia membinasakan dirinya sendiri namanya. Orang yang cerdik sekali-kali tiada mau memandang rendah kepada musuh. Orang yang memandang rendah mudah teperdaya, dan orang yang mau diperdayakan musuh, tiada akan selamat. Patik sangat takut kepada burung hantu itu. Orang yang bijaksana senantiasa awas menjaga musuhnya, baik jauh tempatnya apalagi dekat. Orang yang bijaksana senantiasa akan mengelakkan perang sedapat-dapatnya, karena kurban yang diminta peperangan sangat besar. Di luar peperangan hanya harta, atau perbuatan yang baik atau pikiran yang mulia yang dikurbankan orang. Jadi patik tidak sesuai dengan Tuanku hendak berperang. Karena berperang dengan musuh yang lebih kuat itu artinya membunuh diri. Sungguhpun demikian patik ingin hendak mengemukakan suatu usul kepada Tuanku yang harus dirahasiakan. Rahasia banyak pula macamnya, ada yang boleh diketahui sekaum keluarga, ada yang perlu diketahui selorong kampung, dan ada yang hanya boleh dipersaksikan oleh empat telinga dan dua lidah. Rahasia yang hendak patik katakan dengan Tuanku ini masuk pada bagian yang akhir itulah.‘
            Mendengar kata mentri itu, bangunlah raja dari tempat duduknya, masuk ke dalam bersama-sama dengan mentri itu. Setelah keduanya duduk bertanyalah raja, apakah asal mulanya maka burung hantu bermusuhan dengan gagak?
            ‘Ampun, Tuanku, akan permusuhan itu tiada lain sebabnya, melainkan daripada mulut jua asalnya.‘
            ‘Bagaimana mulanya? Ceritakanlah kepadaku‘
            ‘Pada suatu waktu dahulu kala, berhimpunlah burung bangau hendak memilih burung hantu jadi raja. Tiba-tiba datang ke tempat itu seekor gagak. Maka bertitahlah burung bangau kepada gagak, patutkah burung hantu mereka rajakan?‘
            ‘Pada pendapatku,‘ kata gagak, ‘sekalipun di dunia ini sudah tiada lagi burung merak dan burung lainnya, belum juga kamu akan terpaksa memilih burung hantu jadi raja. Bagaimana akan patut dia jadi raja, padahal di antara segala jenis burung dialah yang amat buruk rupanya, sangat jahat kelakuannya, pendek akalnya, pemarah, tak ada padanya hati yang pengasih, matanya tiada pula menampak siang hari. Benar boleh juga dia dijadikan raja, kalau hanya raja pada nama, dan kekuasaan tergenggam di tanganmu bersama-sama. Sudahkah kamu mendengar kelinci yang mengaku beraja pada bulan?‘
            ‘Belum, ceritakanlah kepada kami!‘
            ‘Adalah suatu hutan tempat kediaman gajah. Sekali peristiwa datanglah kemarau dan keringlah segala telaga dalam hutan itu. Maka hauslah gajah kesemuannya. Suatu hari dengan perintah raja keluarlah beberapa ekor gajah pergi mencari suatu tempat yang berair. Beberapa lama antaranya, pulanglah seekor mengabarkan, bahwa ia beroleh air pada suatu telaga. Telaga Bulan namanya. Mendengar kabar baik itu berangkatlah raja gajah dengan rakyat hendak minum ke sana. Adapun telaga itu terletak dalam hutan tempat kediaman kelinci. Maka  banyaklah kelinci binsa diinjak gajah, dan lubang tempat kediamannya habis rusak semuanya. Binatang yang lemah itu pun berhimpunlahy mengadukan halnya kepada rajanya, seraya meminta dilindungi.
            ‘hai rakyatku,‘ seru raja kelinci, ‘barangsiapa di antara kamu mempunyai pemandangan bagaimana akan menghindarkan bahaya itu, maka hendaklah pemandangan itu dikemukakannya.‘
            ‘Ampun, Tuanku,‘ sembah seekor kelinci yang sudah tua. ’Jika Tuanku percaya kepada patik, biarlah patik pergi kepada gajah itu, dan dengan sebudi akal patik isur dia dari sini. Jika Tuanku kehendaki, biarlah seorang yang Tuanku percayai dititahkan menemani patik dalam pekerjaan itu.’
            Tiadalah terperikan sukacita raja mendengarkan kata kelinci tua itu. Raja mengetahui yang berkata itu seorang yang bijaksana. ‘Pergilah sendiri,‘ kata raja, ‘aku percaya kepadamu. Sungguhpun demikian ingatlah bahwa utusan menjadi wakil bagi diri yang mengutusnya. Sebab itu hendaklah engkau berhati-hati, sabar, dan berdada lapang, supaya tercapai yang dimaksud. Dan jagalah jangan engkau melakukan pekerjaan yang akan mendatangkan celaan kepada yang mengutusmu.‘
            Maka pada suatu malam yang diterangi sinar bulan, keluarlah kelinci tua itu menuju tempat perhentian gajah. Sampai ke dekat tempat itu, naiklah ia ke atas sebuah bukit kecil dan berseru-serulah ia, ‘Hai gajah!‘ katanya, ‘ketahuilah aku ini utusan Maharaja Bulan, akan menyampaikan perintahnya. Oleh sebab itu, janganlah gusar kepadaku jika akan kusampaikan ini agak terdengar ke telingamu.‘
            ‘Apakah perintah itu?‘ tanya raja gajah.
            ‘Bulan bertitah, barangsiapa mengetahui dirinya kuat, kemuadian dia berbuat aniaya kepada makhluk yang lemah, maka tak dapat tidak kekuatannya itu akan menjadi bencana juga atas dirinya. Engkau ini, hai gajah, tahu, bahwa dirimu jauh lebih kuat daripada orang lain. Oleh sebab itu engkau telah tekebur. Dengan semau-mau hatimu telah engkau kotorkan telagaku, negkau keruhkan airnya. Maka kuutus utusanku member ingat. Jika sekali lagi engkau berbuat begitu, kubutakan matamu dan kubinasakan jiwamu. Jika engkau kurang percaya akan kata utusanku itu, datanglah engkau ke telaga sekarang juga, niscaya engkau akan bertemu dengan daku di sana.’
            Tumbuh takut raja gajah dalam hatinya mendengar kata kelinci itu, dan berjalanlah ia bersama-sama ke telaga. Makin bertambah-tambah takutnya ketika melihat ke dalam air dan kelihatan olehnya baying-bayang bulan dalam telaga.
           ‘Tuanku, ambillah air dengan belalai,’ kata kelinci, ‘basuhlah muka dan sujudlah menyembah maharaja Bulan.’
            Demi gajah memasukkan belalainya ke dalam air, beriaklah air dan bergerak-gerak bayang-bayang bulan.
            ‘Mengapakah muka maharaja Bulan bergerak-gerak?’ katanya. ‘Murkakah dia karena aku memasukkan belalaiku ke dalam telaga?‘
            ‘Tentu dia murka,‘ jawab kelinci.
            Maka sujudlah raja gajah kepada bulan, dan tobatlah ia dalam hati. Malam itu juga ia berangkat pulang bersama-sama dengan hamba rakyatnya.
            ‘Lain dari itu,‘ kata gagak pula, ‘burung hantu itu tiada mempunyai sifat kepercayaan. Dia suka menipu dan memperdayakan orang. Oleh karena itu amatlah besar bahayanya dia dijadikan raja. Barangsiapa tunduk kepada raja penipu, samalah halnya dengan pelanduk dan burung puyuh yang mengadukan perkara ke hadapan kucing.‘
            ‘Ceritakanlah pula hikayatnya kepada kami,‘ kata burung bangau yang banyak itu.
            ‘Ada tetanggaku seekor puyuh membuat sarang di pangkal pohon kayu, dekat tempat kediamanku. Dia biasa datang bertandang ke rumahku. Pada suatu waktu hilanglah dia, tiada kuketahui ke mana perginya. Lalu datanglah ke tempat itu seekor pelanduk dan diam di lubang puyuh itu. Karena aku tiada ingin berselisih dengan dia, tiadalah kupedulikan perbuatannya itu. Kemudian beberapa hari sudah itu, datanglah puyuh kembali. Alangkah terperanjatnya melihat sarangnya didiami pelanduk.
            ‘Ini rumahku,‘ kata puyuh. ‘Keluarlah engkau dari sini.‘
            ‘Rumahku,‘ jawab pelanduk, ‘aku yang mendiaminya. Jika engkau mengaku yang empunya, apa tandanya?‘
            Kedua binatang itu pun berbantah-bantah, makin lama makin keras suaranya, seorang pun tiada yang mau kalah. Akhirnya berkata puyuh, ‘Jika engkau membantah juga, marilah kita berhukum pada hakim.‘
            ‘Siapakah yang akan menjadi hakim?‘ tanya pelanduk.
            ‘Di tepi sungai ada kulihat seekor kucing bertapa. Tiap hari dia puasa dan sepanjang malam dia sembahyang. Kata orang tidak pernah dia menumpahkan darah dan menyakiti orang. Marilah kita pergi kepadanya.‘
            Maka pergilah kedua binatang itu mencari kucing. Melihat pelanduk datang bersama-sama dengan puyuh, kucing segera berdirilah, sembahyang dengan khusuknya. Makin bertambah percaya kedua binatang itu akan kesalahannya. Setelah dekat memberi salamlah keduanya seraya memohonkan, sukalah dia menjadi hakim menyelesaikan perselisihan yang timbul antara yang jadi perselisihan itu. Maka mulailah puyuh bercerita.
            ‘Aku ini telah tua,‘ kata kucing, ‘dan telingaku sudah pekak. Sebab itu dekat-dekatlah kemari sedikit.‘
            Kedua binatang itu pun datanglah dekat, dan puyuh mengulangi ceritanya sekali lagi.
            Selesai puyuh bercerita, kata kucing, ‘Sebelum hukuman kujatuhkan lebih baik kunasihati kamu lebih dahulu. Pertama hendaklah kamu takut kepada Allah dan janganlah mencari yang lain daripada yang baik. Orang yang berdiri di atas kebenaran, itulah yang menang, sekalipun kalah dalam perkara. Dan orang yang berdiri di atas yang salah, ia kalah, sekalipun perkaranya menang. Tiada daripada dunia ini dapat dimiliki seseorang lain daripada amal yang saleh yang dikerjakannya selama hidupnya. Sebab itu hendaklah orang yang budiman berusaha mengerjakan pekerjaan yang kekal faedahnya, dan dapat menolong esok hari. Bagi orang yang berakal, harta tiada lebih harganya daripada sebingkah tanah kering. Oleh sebab itu, dipandangnya orang lain sebagai ia memandang dirinya sendiri juga.‘
            Bertambah percayalah juga kedua binatang itu kepada kucing, setelah mendengar kata-kata yang manis dan nasihat yang indah-indah, dan lupalah keduanya akan bahaya yang mungkin menimpa dirinya. Tiba-tiba melompatlah kucing menerkam dan membunuh keduanya. Demikianlah orang yang percaya kepada hakim yang tidak jujur.
            Sifat yang busuk seperti itu ada pada burung hantu. Oleh sebab itu, aku bernasihat, janganlah dia dijadikan raja.‘
            Karena nasihat gagak, tiadalah jadi burung hantu dijadikan raja oleh bangau. Malang bagi gagak semua kata-katanya itu kedengaran oleh burung hantu, karena dia ada di situ.
            ‘Engkau telah berbuat yang tidak baik kepadaku,‘ katanya kepada gagak. ‘Padahal aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, yang patut engkau balas demikian, Ketahui olehmu, pohon kayu yang ditebang orang dengan kampak, tak lama kemudian keluar tunasnya dan tumbuh pula ia kembali. Badan yang hancur kena pedang, mungkin lukanya sembuh. Tetapi luka karena lidah tiada obatnya, dan tidak mungkin sembuh selama-lamanya. Panah yang lepas dari busurnya menembus kulit dan daging dapat dicabut dan dikeluarkan. Tetapi panas yang lepas dari mulut, apabila menusuk hati, tiada dapat dicabut lagi. Tiap-tiap yang membakar ada yang dapat memadaminya. Api dipadami dengan air, bisa dilawan dengan obat, dan kesusahan dipadami dengan sabar. Tetapi api dendam tiada yang dapat memadaminya. Dan engkau hai gagak, hari ini telah menanamkan benih permusuhan antara kami dengan kamu.
            Setelah ia berkata demikian, terbanglah ia pergi mengabarkan hal itu kepada rajanya.
            Gagak pun menyesallah atas perbuatannya yang tiada dipikirnya itu. ‘Demi Tuhan‘ katanya, ‘sesungguhnyalah besar kesalahanku mengeluarkan kata-kata yang semata-mata mendatangkan permusuhan terhadap diri dan bangsaku. Mengapakah maka tiada aku diam saja? Burung yang lain pun tentu mengetahui jua apa yang kuketahui itu, boleh jadi lebih. Tetapi karena takut akan bahaya yang akan terbit, mereka tinggal diam. Perkataanku tadi sama hakikatnya dengan anak panah yang beracun. Orang yang cerdik tiada mau mencari permusuhan, sekalipun ia tahu dirinya kuat. Adakah pandai obat, yang mau meminum racun karena mengetahui akan obatnya? Bukankah bodoh namanya aku berani berkata-kata tentang suatu perkara yang besar, dengan tiada berunding dengan seorang juga, dan tiada pula mau berpikir menimbang-nimbang lebih dahulu? Barangsiapa yang tiada mau bermusyawarat dengan orang pandai-pandai, dan berani berbuat sesuatu menurut kemauannya semata-mata, dengan tiada menimbang baik-baik, tak dapat tiada akan menyesal juga kesudahannya.‘
            Maka menyesallah gagak sejadi-jadinya. Tetapi sesal kemudian, kata orang tua-tua, tiada gunanya.
            Demikianlah mulanya maka timbul permusuhan itu, Tuanku. Kemudian menurut pendapat patik, tiada cukup kekuatan kita akan memerangi musuh itu. Sungguhpun demikian ada akal yang hendak patik cobakan, mudah-mudahan ada buahnya hendaknya. Banyak orang yang telah mengerti maksudnya semata-mata dengan akalnya. Belumkah Tuanku mendengar cerita beberapa orang penipu, dengan mudahnya merampas kambing seseorang pertapa dari tangannya?’
            ‘Bagaimanakah ceritanya, hai mentriku?’
            ‘Seorang pertapa telah membeli seekor kambing yang gemuk hendak dijadikannya kurban, dan berjalan pulang ke rumahnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan beberapa orang bukan orang baik-baik. Melihat pertapa menuntun kambing, bermupakatlah orang-orang itu hendak memperdayakannya. Seorang di antara mereka datang kepada pertapa dan berkata, ‘Hai pertapa, mengapakah Tuan menuntun anjing?‘ Sudah itu datang seorang lagi berkata, ‘Orang ini bukan pertapa, abid tiada mau membawa anjing.‘ Demikianlah berganti-ganti mereka datang kepada pertapa itu mengatakan, yang dituntunnya itu anjing. Akhirnya percayalah pertapa bahwa binatang itu sebenarnya anjing juga, tetapi nampak serupa kambing olehnya, karena matanya telah disihirkan si penjual. Ketika itu juga dilepaskannya binatang itu dan berjalanlah ia dengan sakit hatinya. Kambing itu ditangkaplah oleh orang-orang tadi.
            Demikianlah Tuanku, kerap kali dengan tipu muslihat manusia mencapai maksudnya dengan mudahnya. Patik pun ingin hendak mencobakan suatu tipu daya. Tetapi sebelum patik melakukannya, hendaklah Tuanku perintahkan bulu patik ini dicabut lebih dahulu. Sudah itu berpindahlah tuanku dari sini kepada suatu tempat yang akan patik tunjukkan, dan tinggalkanlah patik seorang diri. Mudah-mudahan patik ditangkap musuh itu, dan dibawanya ke sarangnya, hingga dapat patik mencari jalan hendak membinasakannya dengan semudah-mudahnya.‘
            ‘Akan sukaakah hatimu diperlakukan begitu, hai mentriku?‘ tanya raja gagak.
            ‘Mengapakah maka patik tiada suka Tuanku, padahal di situ terletak kesejahteraan Tuanku dengan hamba rakyat semuanya?‘
            Raja pun bertitahlah supaya mentri itu dicabut bulunya, dan selesai pekerjaan itu berpindahlah raja dengan hamba rakyatnya ke tempat yang telah ditunjukkan gagak itu. Setelah hari malam, datanglah seekor burung hantu hendak melihat-lihat keadaan gagak. Amat terperanjat ia melihat tiada seekor gagak pun di tempat itu lagi. Ketika ia hendak pulang terdengar olehnya suara seekor gagak mengaduh kesakitan. Lalu ditangkap dan dibawanya ke hadapan rajanya. Serta sampai ke hadapan raja burung hantu, bangunlah seorang di antaranya yang hadir berbisik mengatakan bahwa gagak itu ialah mentri yang sangat dipercayai rajanya. Maka inginlah raja burung hantu hendak mengetahui mengapakah mentri gagak itu menjadi demikian halnya, lalu bertitahlah ia menyuruh gagak menceritakan keadaannya.
            ‘Ampun, Tuanku,’ sembah gagak. ‘Pada suatu hari raja patik berunding dengan mentri-mentrinya memperkatakan apa yang baik dilakukan terhadap musuh, yaitu bala tentara Tuanku. Maka berdatang sembah patik mengatakan tiada berguna melawan, karena musuh jauh lebih berani dan lebih kuat. Lebih baik, kata patik, berdamai saja dan membayar upeti kepadanya. Kalau ada izin musuh tetaplah kita tinggal di tempat yang lama, tetapi jika tidak hendaklah pindah ke tempat lain. Tak ada yang dapat melemahkan hati musuh yang keras, selain daripada menundukkan diri, mengikuti kemauannya. Rumput maka selamat daripada bahaya badai, hanyalah karena lemahnya, mau menurutkan ke manaa arah angin. Mendengar kata patik itu marahlah mereka kepada patik, dikatakannya khianat akan bangsa. Lalu dianiayanya patik seperti ini, kemudian ditinggalkannya seorang diri, dan mereka pergilah, bersama-sama tidak patik ketahui ke mana.‘
            Sangat kasihan hati raja burung hantu mendengarkan cerita gagak itu. ‘Apakah pemandanganmu tentang gagak ini?‘ tanya baginda kepada wazir-wazirnya.
            ‘Ampun, Tuanku,‘ sembah wazir yang pertama, ‘pemandangan patik hendaklah segera juga kita bunuh dia. Di antara musuh kita dia yang tertua dan amat bijaksana. Sebab itu jika dia binasa, selamatlah kita daripada tipu dayanya, dan musuh kita kehilangan seorang besar yang sukar dicari gantinya. Kata orang-orang tua, barangsiapa beroleh kesempatan yang baik, tetapi tiada dipergunakannya sebagaimana mestinya, maka orang itu bodoh adanya. Jarang kesempatan datang dua kali. Orang yang tiada membinasakan musuh waktu dalam kelemahan, akan menyesal melihat musuh itu menjadi kuat dan ia tiada berdaya lagi atasnya.‘
            ‘Engkau apa pula pemandanganmu, hai wazirku?‘ tanya raja kepada wazirnya yang lain.
            ‘Ampun, Tuanku, pendapat patik baiklah gagak itu kita pelihara dan kita hidupi. Mudah-mudahan pandai dia membalas kebaikan kita kepadanya kemudian hari. Perpecahan di kalangan musuh menjadi suatu keuntungan bagi kita. Belumkah Tuanku mendengar cerita seorang pertapa, karena musuhnya berselisih, dia terlepas daripada bahaya?’
            ‘Bagaimana ceritanya?’
            ‘Ada seorang pertapa mempunyai seekor sapi betina yang banyak air susunya dan mahal harganya. Pada suatu malam datanglah seorang pencuri mencuri sapi itu. Waktu itu pula hantu rimba hendak melarikan pertapa itu ke dalam hutan kalau dia telah tertidur. Di tengah jalan, kedua yang jahat itu bertemu. ‘Siapa engkau ini?‘ kata hantu ketika melihat pencuri. ‘Aku pencuri hendak mencuri lembu pertapa itu kalau dia telah tidur. Engkau siapa pula?‘ ‘Aku hantu hendak melarikannya ke dalam hutan.‘ Setelah sampai ke rumah pertapa itu, bermupakatlah kedua penjahat itu mencari jalan bagaimana akan melakukan maksudnya dengan sebaik-baiknya. Kata hantu kepada pencuri, ‘Kalau engkau curi lembunya dahulu, kau takut dia terbangun dan berteriak, hingga datang orang banyak dan tiada sampai maksudku lagi. Sebab itu biarlah kularikan dia dahulu, sudah itu berbuatlah apa yang engkau kehendaki,‘ ‘Kalau engkau larikan dia dahulu,‘ jawab pencuri, ‘kuatir aku dia akan jaga, dan tiada dapat kucuri lembunya lagi. Biar kucuri lembunya dahulu.‘ Keduanya sama-sama keras, tiada yang mau mengalah. Setelah lama berbantah-bantah, sakitlah hati pencuri dan berteriak ia, ‘Hai pertapa, bangunlah, ini hantu hendak melarikan kau ke dalam hutan.‘ Hantu pun berteriak pula karena mendengar pencuri berteriak, ‘Hai pertapa, bangunlah, ini percuri hendak mencuri lembumu.‘ Maka bangunlah pertapa dan orang-orang yang berdekatan rumah dengan dia, masing-masing dengan penggada di tangannya. Kedua penjahat itu pun larilah dengan tergesa-gesa.‘
            ‘Patik kuatir, Tuanku,‘ kata wazir yang pertama pula, ‘kalau-kalau gagak itu hanya hendak memperdayakan kita jua semata-mata. Sebab itu baik juga kita ingat-ingat, supaya jangan menyesal kemudian hari.‘
            Perkataan mentri itu tiada dipedulikan raja, dan bertitahlah baginda menyuruh memeliharakan gagak dengan sebaik-baiknya.
            Beberapa lamanya sudah itu, suatu hari berdatang sembahlah gagak kepada burung hantu, ‘Ampun, Tuanku, beribu ampun! Tuanku telah mengetahui betapa kejamnya patik dianiaya raja dan bangsa patik, hingga kalau tiada karunia Tuanku, binasalah jiwa patik. Hati patik sangat luka karena perbuatan bangsa patik itu, dan rasanya tiadalah luka itu akan sembuh sebelum patik dapat menuntut bela aku, tetapi apalah daya patik, karena patik hanyalah seekor gagak jua. Ada patik dengar orang tua-tua berkata, barangsiapa rela dirinya dibakar jadi abu, maka ia telah mengerjakan perbuatan yang semulia-mulianya namanya, dan ketika itu segala pintanya akan berlaku, apa jua pun macamnya. Oleh sebab itu jika ada kemurahan Tuanku, biarlah patik bakar diri patik ini, dan patik pohonkan kepada Tuhan supaya dihidupkannya patik sekali lagi menjadi burung hantu. Ketika itulah patik akan dapat membalaskan dendam kesemat sepuas-puas hati patik.‘
            ‘Perkataan Tuan hamba itu,‘ jawab mentri yang menyuruh bunuhnya dahulu, ‘sepanjang hemat hamba tiada berbeda dengan minuman yang wangi baunya dan enak rasanya, tetapi di dalamnya bersembunyi racun yang amat berbisa. Mungkinkah pada pemandangan Tuan hamba tabiat dan perasaan Tuan hamba akan berubah pula seperti perasaan burung hantu, sekalipun badan Tuan hamba telah kami bakar jadi abu? Tabiat yang asal tiada mungkin berubah-ubah selama-lamanya.. Tidakkah Tuan hamba mendengar hikayat seekor anak tikus, disuruh memilih matahari, angin, awan, dan gunung untuk jadi suaminya, akhirnya kawin dengan tikus juga?‘
            ‘Bagaimanakah ceritanya?‘ kata yang hadir.
            ‘Ada seorang pertapa yang amat saleh, makbul segala doanya. Pada suatu hari sedang ia duduk bertapa di pinggir laut, melintaslah seekor lang menerbangkan anak tikus di atas kepalanya. Sekonyong-konyong anak tikus itu terlepas dari genggaman lang, dan jatuh di hadapan pertapa. Demi pertapa melihat binatang yang lemah itu, kasihanilah hatinya, lalu dipungutnya, diselimutinya dengan kaindan dibawanya pulang. Di rumah didoakannya supaya anak tikus dijadikan Tuhan, jadi manusia, dan dengan seketika juga menjelmalah dia jadi seorang anak perempuan yang baik rupanya. Anak itu dipeliharakan dengan sebaik-baiknya oleh pertapa dua laki-istri. Setelah besarlah dia, berkatalah pertapa kepadanya, ‘Hai anakku, pilihlah olehmu siapa yang berkenan di hatimu untuk menjadi suamimu, boleh kupinang.‘
            ‘Jika ayah suruh memilih,‘ jawab anak itu, ‘maka hamba tiadalah akan bersuami, melainkan dengan yang sekuasa-kuasanya di dunia ini,‘
            ‘Kalau begitu mataharilah agaknya yang engkau ingini, hai anakku,‘ kata pertapa pula. Lalu pergilah ia kepada matahari.
            ‘Hai raja siang,‘ kata pertapa itu, ‘saya beranak perempuan seorang. Dia ingin hendak bersuamikan yang paling berkuasa di dunia ini. Pada pemandangan hamba tiadalah yang lebih berkuasa daripada Tuan hamba. Sebab itu bertanyalah hamba, sukakah Tuan hamba menjadi suaminya?‘
            ‘Ada lagi yang lebih berkuasa dari padaku,‘ jawab matahari, ‘yaitu awan. Dia berani mendinding cahayaku dari muka bumi, dan menyelimuti mukaku, hingga tiada aku menampak dunia lagi. Pergilah bapa kepadanya.‘
            Orang tua itu pun pergilah kepada awan, dan berkatalah pula ia seperti kepada matahari.
            ‘Ada juga yang lebih berkuasa dari padaku lagi,‘ jawab awan. ‘Yaitu angin yang dengan sekehendak hatinya dapat menerbangkan daku ke barat dan ke timur. Pergilah bapa kepadanya.‘
            Maka pergilah orang tua itu kepada angin.
            ‘Aku bukanlah yang paling berkuasa,’ kata angin. ‘Ada yang lebih besar kuasanya dari padaku yaitu gunung. Bagaimana pun kencangnya aku bertiup, namun tiada juga dapat kugerakkan.‘
            Pertapa itu pergi pula kepada gunung, dan dikatakannya pula permintaannya.
            ‘Bukan aku yang paling berkuasa,‘ jawab gunung. ‘Tikus lebih berkuasa dari padaku. Tiada terlarang olehku dia menggali punggungku, dan membuat lubang tempat di diam. Pergilah bapa kepadanya!‘
           Mendengar kata gunung, pergilah orang itu kepada tikus, dan dikatakannya permintaan anaknya. Jawab tikus, ‘Bagaimana aku akan kawin dengan anak bapa, karena dia manusia dan aku ini tikus.‘
            Ketika itu, dengan izin si anak, mendoalah pula pertapa itu supaya Tuhan mengembalikan anaknya itu menjadi tikus kembali.
            Maka jadi tikuslah dia, dan kawinlah dia dengan raja tikus itu.
            Demikianlah kejadian yang asal itu tiada akan dapat berubah-ubah selama-lamanya.‘
            Sekalipun cerita itu ada didengarkan raja burung hantu, janganlah ia benci kepada gagak, bertambah-tambah sayangnya yang ada. Setelah dia jadi kepercayaan raja mulailah gagak menyelidiki segala yang perlu diketahuinya, dan demi cukuplah penyelidikannya, pergilah dia bahwa pekerjaannya selesai sudah, dan hendaklah pada suatu hari raja menyuruh rakyat mengumpulkan kayu yang kering di muka gua tempat kediaman burung hantu itu.
            Arkian setelah banyaklah kayu terkumpul, maka dibakarnyalah. Semua burung hantu dalam gua itu pun matilah, barang seekor pun tiada terlepas. Akan raja gagak pulanglah kembali ke tempat kediamannya semula, bersama-sama dengan hamba rakyatnya, dan bersuka-sukaanlah semuanya.
            Syahdan pada suatu hari bertanyalah raja gagak kepada mentrinya itu, ‘Hai mentriku, bagaimana jalannya maka dapat engkau menahan hatimu bersahabat dengan burung hantu dan bergaul demikian lamanya? Biasanya orang baik-baik tiada tiada tahan tinggal bersama-sama dengan orang yang jahat.‘
            ‘Ampun, Tuanku,‘ sembah mentri gagak, ‘akan sabda Tuanku itu sebenarnyalah demikian. Akan tetapi apabila datang sesuatu perkara kepada orang yang bijaksana, yang mungkin mendatangkan bahaya besar kalau tiada dipikulnya, maka haruslah dia sabar memikulnya, sekalipun bagaimana juga pahitnya. Kesabaran itulah kunci kemenangan dan bahagia.‘
            ‘Ceritakanlah kepadaku, hai mentriku, banyakkah di antara rakyat burung hantu itu yang cerdik dan bijaksana?‘
            ‘Tiada bersua patik denga orang yang bijaksana di antara mereka itu, selain daripada yang menasihati rajanya supaya membunuh patik. Akan tetapi nasihatnya itu tiada didengarkan raja. Rupanya raja itu lupa, bahwa patik perdana mentri Tuanku. Mereka percaya saja bahwa patik tiada akan melakukan tipu muslihat atas diri mereka. Oleh karena itu tiada mereka sembunyikan rahasianya daripada patik, padahal orang tua-tua telah berkat, patutlah raja menjaga rahasianya jangan sekali-kali dibukakannya walaupun kepada siapapun juga.‘
            ‘Kalau begitu,‘ kata raja gagak pula, ‘karena pemandangannya yang pendek jualah rupanya maka raja burung hantu itu binasa, lagi amat percaya kepada wazir yang tiada setia.‘
            ‘Sebenarnya demikianlah Tuanku,‘ jawab mentri itu pula. ‘Jarang orang yang tiada mabuk karena kebesarannya. Jarang orang yang banyak makan yang tiada sakit, dan jarang raja yang percaya kepada wazir yang tidak setia yang tiada rugi akhir kesudahannya. Orang pandai-pandai berkata, janganlah orang yang tekebur harap akan dipuji orang, janganlah harap penipu akan beroleh teman banyak, yang jahat laku akan mulia, yang loba akan terpelihara daripada dosa. Dan jaranglah raja yang tiada hati-hati, yang kurang siasat wazir-wazirnya, harap akan kekal kerajaannya dan sejahtera rakyatnya.‘
            ‘Benar katamu itu, hai mentriku. Akan tetapi takkan hilang selama-lamanya dari ingatanku betapa berat penanggunganmu selama memperhambakan diri kepada musuh itu.‘
            ‘Ampun Tuanku,‘ jawab mentri gagak, ‘orang yang berani menderita kesusahan yang jadi jalan untuk mencapai kemenangan baginya, orang itu tak dapat tidak berbahagia jua akhir kesudahannya. Tidaklah Tuanku mendengar bagaimana ular merendahkan dirinya mau menjadi kendaraan raja katak, supaya dengan mudahnya juga ia beroleh makanan setiap hari?‘
            ‘Ceritakanlah supaya kudengar!‘
            ‘Kata yang punya cerita ada seekor ular, yang sudah hilang tenaganya, rabun matanya karena sudah terlalu tua umurnya. Maka tiadalah ia kuasa memburu mangsanya lagi. Pada suatu hari merayaplah ia ke luar sarangnya, sampai kepada sebuah kolam yang banyak didiami katak. Kolam itu dahulu sudah kerap kali didatanginya. Serta sampai berbaringlah ia seperti orang berdukacita. Maka bertanyalah seekor katak kepadanya, ‘Hai ular, apakah sebabnya kulihat engkau berduka cita?‘
            ‘Bagaimana aku tiada akan berdukacita,‘ jawab ular, ‘Engkau pun tahu aku ini hidup dengan memakan bangsamu. Akan tetapi sejak hari ini ke atas, tiadalah aku akan dapat menangkap katak lagi, karena diriku telah kena sumpah orang. Tentu matilah aku ini kelaparan.‘
            Kata ular itu disampaikan katak kepada rajanya. Maka datanglah raja katak mendapatkan ular. Tanya raja katak.
            ‘Bagaimana mulanya maka engkau kena sumpah?‘ tanya raja katak.
            ‘Pada suatu hari hamba memburu seekor katak. Binatang itu lari ke rumah seorang tua pertapa. Ketika itu hari sudah hamper magrib. Waktu hamba mengejarnya, Nampak oleh hamba ada sesuatu bergerak. Sangka hamba barang itu katak yang hamba kejar, lalu hamba terkam. Kiranya tangan anak pertapa itu yang kena gigi hamba. Anak itu mati karena hamba dan hamba pun larilah. Tetapi hamba dikejar oleh pertapa itu. Karena hamba tiada tertangkap olehnya, disumpahinya hamba. ‘Oleh karena engkau telah membunuh anakku yang tiada berdosa,’ katanya, ‘aku meminta kepada Tuhan supaya dijadikannya hina engkau selama-lamanya, sehingga menjadi kendaraan raja katak jugalah engkau hendaknya, dan sejak ini ke atas seekor katak pun tiada akan dapat engkau tangkap lagi, kecuali apa yang diberikan oleh raja itu kepadamu.’ Demikianlah sumpahnya. Itulah sebabnya maka hamba datang kemari menyerahkan diri supaya menjadi kendaraan tuan hamba.’
            Sangat girang hati raja katak mendengar kata ular demikian. Ketika itu juga naiklah ia ke atas punggung musuh lamanya itu dan pesiarlah ia sekeliling kolam. Setelah puaslah ia berkendaraan, berkatalah ular kepada raja katak, ‘Tuan hamba telah mengetahui bahwa hamba tiada dapat mencari makan lagi. Oleh sebab itu berilah hamba makan supaya hamba tidak mati kelaparan.‘
            ‘Sebenarnyalah katamu itu,’ jawab raja katak. Lalu diperintahkannya memberikan dua ekor katak tiap hari untuk makanan ular itu. Sejak hari itu senanglah hidup ular, dan tiadalah kerugiannya ia merendahkan diri kepada musuh. Sebaliknya, yang menjadi beruntung ialah terpelihara hidupnya.
            Demikian pulalah tuanku, patik merendahkan diri kepada musuh, tiada lain wujudnya, melainkan untuk mencapai yang kita maksud jua, yakni kesejahteraan kita dan kebinasaan musuh. Untuk pelawan musuh tak ada senjata yang lebih baik daripada sifat merendah. Api, sekalipun bagaimana juga nyalanya tiada ia membinasakan melainkan bagian pohon yang di atas tanah jua. Tetapi air, sekalipun cair dan lembut, dapat menumbangkannya dengan akar-akarnya. Empat perkara tiada boleh dipandang kecil, api, penyakit, musuh, dan utang. Apabila ada dua orang sama-sama menuju kepada suatu maksud, maka yang lebih mulia budinya itulah yang akan sampai lebih dahulu. Jika sama mulia budinya, maka yang lebih kuat kemauannya dan jika sama kemauannya, maka yang lebih sungguh berusaha. Orang pandai-pandai berkata pula, barangsiapa mau memerangi raja yang bijaksana, berani lagi sabar, maka dia mencelakakan dirinya sendiri. Istimewa raja yang seperti Tuanku, yang pandai menempatkan sesuatu pada tempatnya, tahu menimbang buruk dengan baik.’
            ‘Semua itu, hai mentriku, adalah dengan nasihat dan tuntunanmu juga. Nasihat cerdik-cendekia lebih berguna daripada bala tentara beribu-ribu. Sungguhpun demikian ingin juga aku hendak mengetahui bagaimana jalannya dapat engkau mengunci lidahmu, tidak terlompat dari mulutmu agak sepatah kata pun juga, penjawab kata-kata burung hantu yang menyakitkan hati itu.‘
            ‘Itu semuanya adalah berkat petunjuk duli Tuanku juga,‘ jawab mentri gagak, ‘Tuanku telah menasihatkan, dekatilah karib dan baid dengan berlaku lemah-lembut dan dengan perbuatan yang baik.‘
            ‘Berbahagialah engkau, hai wazirku,‘ kata raja, ‘Engkaulah seorang yang pandai bekerja, bukan seperti yang lain yang hanya pandai berkata-kata. Berkat tipu muslihatmu kita telah dianugerahi Tuhan keamanan, pada hal dahulu tak pernah makan kita sedap, tak pernah tidur kita nyenyak. Dahulu kita sakit, karena orang sakitlah yang tidak dapat merasai enaknya makanan sampai dia sembuh. Akan sekarang telah sembuhlah kita. Orang yang terpelihara daripada musuhnya tenang hatinya.‘

            ‘Ampun, Tuanku, patik mendoakan kepada Tuahn yang telah membinasakan musuh Tuanku, mudah-mudahan barang dikekalkannya juga kiranya Tuanku di atas singgasana dalam bahagia yang sempurna, berbahagia pula hamba rakyat berkat perintah Tuanku yang adil, hingga sama-sama mereka dapat merasai bahagia dengan Tuanku. Adapun raja yang tiada turut rakyatnya berbahagia bersama-sama dengan dia, maka tiadalah raja itu akan sejahtera kedudukannya, dan tiada akan kekal singgasananya. Mudah-mudahan dikabulkan Tuhan kiranya soa patik itu. Amin ya Rabbal alamin!“

Sumber:
Baidaba. tth. Hikayat Kalilah dan Dimnah. Jakarta: Balai Pustaka.

0 komentar:

Posting Komentar