Minggu, 07 Juni 2020

Seberapa Efektifkah Tes Kelompok/Pool Test untuk Mendeteksi Covid-19?

Misalkan kalian mempunyai enam buah bola lampu, dan salah satunya putus. Bagaimana cara kalian untuk mengetahui mana bola lampu yang putus? Apakah diperiksa satu per satu? Jika demikian, kalian butuh enam kali pengujian. Adakah cara lain yang lebih tepat guna?

Ilustrasi pengujian berkelompok

Untuk memecahkan masalah di atas, kita dapat menguji bola-bola lampu tersebut secara berkelompok. Misalkan kita mulai dengan menguji tiga bola lampu pertama. Jika ketiganya masih menyala, maka bola lampu yang rusak berada pada tiga terakhir. Selanjutnya, dari tiga bohlam yang mati, kita uji dua di antaranya. Jika menyala, maka yang terakhir pasti mati. Jika tidak, kita uji salah satu untuk menentukan mana yang mati dan mana yang hidup. Dari sini, kita dapat menyederhanakan pengujian dari yang sebelumnya enam pengujian menjadi maksimal hanya tiga pengujian.

Dalam ilmu statistik dan matematika kombinatorial, pengujian berkelompok adalah pengujian yang tidak dilakukan tiap sampel sendiri-sendiri, tetapi sampel dikelompokkan terlebih dahulu sebelum diuji. Gagasan ini pertama kali diungkapkan oleh Robert Dorfman pada tahun 1943 dan kini masih terus dikembangkan. Pengujian berkelompok kini diterapkan dalam berbagai bidang, mulai dari statistik, biologi, ilmu komputer, pengobatan, teknik, dan keamanan siber.

Ide awalnya bermula ketika Layanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat ingin memeriksa calom tentara pada Perang Dunia II yang terjangkit sifilis. Cara menguji sifilis dilakukan dengan mengambil contoh darah dan menganalisis apakah terdapat tanda-tanda sifilis dalam sampel darah. Pada waktu itu, melakukan tes sifilis cukup mahal, dan menguji begitu banyak tentara memakan biaya sangat besar sehingga tidak efisien. Misalkan terdapat n tentara, maka jika diuji satu per satu, dibutuhkan n kali pengujian. Jika terdapat banyak yang positif, maka wajar diuji satu per satu. Tetapi, jika hanya sedikit yang terjangkit, maka dibutuhkan metode yang lebih efektif. Caranya adalah dengan membagi sampel ke dalam beberapa kelompok. Sampel gabungan ini kemudian diuji. Jika hasilnya positif (satu atau lebih terjangkit sifilis), maka tiap orang dalam sampel tersebut diuji kembali satu per satu. Jika hasilnya negatif, maka seluruh orang dalam sampel tersebut dianggap negatif.

Bagaimana dalam Pengujian Covid-19?
Syarat utama keefektifan pengujian berkelompok adalah jika persentase hasil yang positif cukup kecil dibanding jumlah sampel. Mari kita lambangkan sebagai p. WHO menyarankan agar tiap negara terus menguji penduduk sebanyak-banyaknya hingga jumlah orang yang positif di bawah 10% dari jumlah penduduk yang diuji. Anggaplah suatu negara X masih belum mencapai puncak sehingga dari yang dites, 16% dinyatakan positif. Maka p = 0,16. Nilai p ini tergantung kondisi wabah suatu negara. Pada awal wabah akan cukup besar dan jika telah melewati puncak maka nilai boleh jadi akan sangat kecil karena virus telah terisolasi (contained).

Selanjutnya, katakanlah kita hendak menguji seribu orang dan kita lambangkan sebagai H = 1000. Satu orang kita ambil dua kali sampel. Seribu sampel pertama kita bagi dalam beberapa kelompok, kita lambangkan sebagai s. Supaya mudah, s atau jumlah kelompok ini merupakan faktor dari H. Bukan faktor sebenarnya bisa, tetapi jumlah dalam tiap kelompok akan tidak sama dan menyulitkan perhitungan.

Idealnya, jangan sampai setiap kelompok yang kita uji dinyatakan positif. Jika demikian, maka pada akhirnya kita harus menguji setiap sampel satu demi satu. Maka, jumlah kelompok harus lebih besar dari jumlah ekspektasi orang yang dinyatakan positif. Dalam kasus ini, diperkirakan jumlah orang yang dinyatakan positif sebesar 160 orang, dari p x H atau 0,16 dikali 1000. Sampai sini kita ringkas terlebih dahulu, p = 0,16; H = 1000; dan s > 160.

Pengujian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, dilakukan pengujian pada sampel yang telah dikelompokkan. Jumlah pengujian pada tahap ini sejumlah s, yaitu jumlah kelompok sampel. Selanjutnya, pada tahap kedua, kelompok sampel yang dinyatakan positif diuji kembali satu demi satu tiap individu. Di sinilah pentingnya diambil dua kali sampel. Dari 160 orang yang diperkirakan positif, kemungkinan terburuknya adalah kesemuanya tersebar (tidak menggerombol). Jika demikian, maksimum jumlah tes yang akan diuji pada tahap kedua ini adalah 160 dikali jumlah sampel tiap kelompok. Secara matematis sebagai berikut.

Jumlah tes = Jumlah tahap pertama (R1) + Jumlah tahap kedua (R2)
R1 =  jumlah kelompok = s
R2 = ekspektasi positif x jumlah sampel tiap kelompok = (p x H) x (H/s)
R2 = p x H^2/s
Di sini, p dan H merupakan konstanta yang tidak dapat berubah, sedangkan s adalah variabel yang dapat diubah-ubah. Untuk mengetahui jumlah tes tersedikit yang dapat dicapai, persamaan jumlah tes di atas harus diambil turunannya terhadap s dan hasilnya harus nol.
Selesaikan persamaan di atas untuk mengetahui jumlah s optimum agar jumlah tes menjadi minimal.
Dari rumus di atas, masukkan  = 1000 dan p = 0,16 dan kita dapatkan jumlah kelompok sebanyak 400 kelompok. Jika demikian, maka jumlah sampel tiap kelompok rata-rata 2,5 atau ada yang dua dan ada yang tiga. Ada kalanya yang positif ada pada sampel tiga orang, ada kalanya pada sampel dua orang. Di sinilah mengapa saya sebelumnya katakan supaya jumlah kelompok adalah faktor dari jumlah orang yang akan diuji. Faktor yang terdekat dengan 400 adalah 500 atau dua sampel tiap kelompok, maka:

Jumlah tes = 500 + 0,16*1000*1000/500 = 500 + 320 = 820 pengujian.
Efisiensi tes = Jumlah orang/Jumlah tes - 1 = 1000/820 = 121,95%.

Maka, dengan skenario di atas, kita dapat menguji 1000 orang dengan 820 pengujian atau 21,95% lebih efisien daripada tiap sampel diuji satu per satu. Jika kapasitas laboratorium keseluruhan adalah sepuluh ribu tes per hari, maka dengan skenario di atas, diharapkan dapat dilakukan tes untuk 12.195 orang.

Skenario di atas tentunya akan lebih efisien jika suatu negara telah mencapai puncak wabah Covid-19. Katakanlah dari seluruh tes, hanya 4% yang diperkirakan positif, maka besar s adalah 200 kelompok atau lima sampel tiap kelompok. Pada skenario ini,

Jumlah tes = 200 + 0,04*1000*1000/200 = 200 + 200 = 400 pengujian.
Efisiensi tes = Jumlah orang/Jumlah tes - 1 = 1000/400 = 250%.

Dengan kata lain, hanya butuh 400 tes untuk menguji 1000 orang. Sehingga walaupun kapasitas laboratorium adalah 10.000 tes per hari, maka sebenarnya kapasitas pengujian telah meningkat hingga dapat menguji 25.000 orang per hari, meski tanpa peningkatan infrastruktur atau SDM. Kuncinya adalah menahan laju virus hingga virus mencapai tahap pengurungan (containment), yang ditandai dengan angka reproduksi dasar (R0, dibaca R-naught) berada di bawah satu selama setidaknya empat belas hari.

Perhitungan vs Kenyataan
Asumsi yang saya gunakan dalam perhitungan di atas adalah virus tersebar "merata" atau pengujian dilakukan dengan urutan acak tanpa memandang kluster, sehingga jumlah tes di atas adalah jumlah maksimum yang harus dilakukan (worst-case scenario). Kenyataannya, penyebaran Covid-19 lebih bersifat kluster dan terkait dengan kontak droplet (walaupun bisa juga lewat udara/airborne). Oleh karenanya, sampel positif lebih mungkin menggerombol daripada tersebar merata. Hal ini dapat dimanfaatkan dengan menguji satu kawasan yang katakan belum ditemukan indikasi Covid-19, lalu diuji dan seluruhnya dinyatakan negatif. Maka dengan hanya beberapa tes (sekali tes bisa untuk menguji hingga 64 sampel), seluruh kawasan dapat dinyatakan zona hijau. Hal ini akan menghemat sehingga tes dapat lebih diarahkan untuk kawasan zona merah. Salah satu yang telah menerapkan pool-test adalah Jerman, di mana dengan kapasitas 40.000 pengetesan per hari dapat melakukan pengujian hingga 400 ribu sampel per hari.

Sumber
"Group testing" (en.m.wikipedia.org/wiki/Group_testing)
Iskan, Dahlan. 24 April 2020. "Pool-test Hafidz". (disway.id/r/911/pool-test-hafidz)
Kaushik, Pitamber. 24 Mei 2020. "How pool testing can help overcome Covid-19. (asiatimes.com/2020/05/how-pool-testing-can-help-overcome-covid-19)

0 komentar:

Posting Komentar