Konflik sipil di Suriah telah berjalan selama hampir lima tahun. Krisis yang awalnya hanya bagian dari Arab Spring berkembang setelah munculnya beragam aktor baru seperti dideklarasikannya pembentukan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS), koalisi yang dipimpin oleh AS untuk melawan NIIS, dan terbaru, Rusia juga ikut melawan NIIS dalam koridor yang berbeda. Total kini terdapat lima pihak yang terlibat: Pemerintah Suriah pimpinan Bashar al Assad yang didukung Rusia, Iran, dan Hezbollah Lebanon; pihak oposisi yang tergabung dalam Syrian National Council yang didukung AS, Turki, Saudi, Qatar, dan Prancis; militan Kurdi Rojava (Peshmerga); Front Al Nusra yang merupakan cabang Al Qaeda; serta NIIS.
Peta konflik 23 Februari 2016. Merah: kontrol pemerintah Damaskus; Hijau: oposisi; Kuning: Kurdi Rojava; Hitam: NIIS; Putih: Front al Nusra. Sumber: Wikipedia |
Bashar al Assad lahir dari keluarga sekte Alawi, sebuah sekte unik yang berasal dari Islam Syiah Dua Belas Imam. Latar belakang Alawi dan keluarganya akan dibahas pada artikel berikut ini.
Perlu diketahui, kaum Alawi di sini tidak berhubungan sama sekali dengan Bani 'Alawi yang merupakan keturunan Nabi Muhammad dari jalur Husain bin Ali. Bani Alawi atau Ba'alawi sendiri merupakan penganut mazhab Syafii yang turut menyebarkan Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh Bani Alawi yang terkenal seperti Ali Alatas (mantan Menlu Indonesia), Habib Rizieq Syihab (ketua FPI), dan Habib Ali al Jufri tidak akan dibahas pada artikel ini.
Ajaran ibn Nusayr sendiri cukup unik, karena mengajarkan pengejawantahan Tuhan dalam tiga bentuk: ma'na (kandungan, esensi, sari) yang berarti alam esoteris (batin); hijab (penutup) atau 'ism (nama) yang melambangkan alam sadar; dan bab (pintu). Dalam ajarannya, disebutkan Tuhan telah "mengejawantahkan" zat-Nya dalam tiga bentuk tersebut sebanyak tujuh kali. Pertama, yang menjadi ma'na adalah Habil anak Adam, yang menjadi 'ism adalah Nabi Adam, dan yang menjadi bab adalah malaikat Jibril. Pada pengejawantahan terakhir, Ali bin Abi Thalib adalah ma'na, Nabi Muhammad adalah 'ism, dan Salman al Farisi adalah bab. Ajaran ini sering dianggap sebagai bentuk trinitas, namun orang Alawi membantah karena menurut mereka Tuhan adalah zat yang kekal dan tidak terbagi.
Selain mengajarkan tiga sisi ketuhanan, ajaran Alawi sendiri juga mengajarkan adanya perpindahan jiwa ke bentuk lain setelah kematian (metempsychosis, istilah umumnya reinkarnasi). Disebutkan bahwa jiwa seorang Alawi dapat berpindah ke wujud binatang, orang lain, atau tanaman sesuai amal perbuatan mereka. Mereka meyakini adanya tujuh bentuk reinkarnasi dan seseorang harus mengalami tujuh kali reinkarnasi sebelum mencapai tujuan akhirnya yaitu di bintang-bintang di langit. Mereka terbagi ke dalam beberapa sekte, dua di antaranya adalah Syamali dan Qamari. Golongan Syamali meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib kini tinggal di matahari sedangkan golongan Qamari meyakini bahwa Imam Ali kini tinggal di bulan.
Kehidupan orang-orang Alawi sangatlah rahasia. Sebagian informasi yang ada sekarang berasal dari Kitab al Majmu' yang ditulis oleh Sulayman al-Adani, seorang Alawi yang berpindah keyakinan ke Nasrani. Dari beberapa kitab penting pun, hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Prancis, yaitu Kitab al Mashyakhah, yang dibawa ke Prancis oleh Samuel Lyde, seorang Inggris yang tinggal di Suriah pada abad ke-19.
Mayoritas penganut Alawi kini tinggal di pedesaan sekitar Latakia di pantai Laut Tengah. Daerah ini bergunung-gunung dan kebanyakan penduduk hidup sebagai petani. Selama masa Mandat Prancis, daerah ini begitu heterogen. Mayoritas pemilik tanah dan penduduk kota Latakia adalah penganut Islam Sunni, namun mayoritas penduduk pedesaan adalah penganut Alawi. Penganut Alawi juga hidup di Sanjak Alexandretta yang kini menjadi Provinsi Hatay di Turki.
Suriah dalam Mandat Prancis. Negara Alawi ditunjukkan oleh warna ungu. |
Menyusul kalahnya pasukan Turki Utsmani pada Perang Dunia I, wilayah-wilayah yang dahulunya dikuasai oleh Utsmani kini ditinggalkan tanpa kendali karena pemerintahan Istanbul sendiri sibuk mengurusi beragamnya situasi pelik dalam negeri. Wilayah Hijaz (tepi Laut Merah) kini dikuasai oleh keluarga al Saud yang menunggang Jenderal Lawrence dari Inggris. Wilayah Irak dan Palestina dijadikan wilayah Mandat Inggris, dan wilayah Suriah dan Lebanon menjadi Mandat Prancis. Pembagian daerah tersebut mulai berlaku sejak 30 Oktober 1918 di bawah Gencatan Senjata Mudros. Pada perjanjian Sevres sendiri (ditandatangani 1920) disebutkan bahwa di timur Anatolia (utara Suriah) akan dibangun negara Kurdistan dan Armenia Raya yang berdaulat. Namun, hal tersebut tidak terlaksana berkat perjuangan Mustafa Kemal Pasha dkk. (Ataturk atau 'Bapak Turki') yang berhasil mempertahankan wilayah sekitar Pegunungan Armenia ke dalam wilayah Turki.
Dalam keberjalanannya, rakyat Lebanon cenderung pro-Prancis sedangkan rakyat Suriah lebih ingin membentuk negara yang berasas pan-Arab. Pada 1919, masyarakat Alawi di Latakia memberontak kepada Prancis di bawah komando Salih al Ali. Berkembangnya sentimen anti-Prancis pada saat itu mendorong berdirinya Kerajaan Arab Suriah di bawah emir saat itu, Faisal I. Hanya berdiri empat bulan saja, Raja Faisal memilih meninggalkan tampuknya atas tekanan Prancis.
Pada 2 September 1920, Prancis membagi wilayah mandatnya berdasarkan populasinya untuk memberikan "otonomi daerah". Teritori Alawi pun dibentuk di bagian pantai bergunung yang mencakup desa-desa Alawi. Pembenaran Prancis pada pembagian ini menyangkut "keterbelakangan" penduduk daerah pegunungan, yang secara agama berbeda dengan mayoritas Sunni di sekelilingnya. Wilayah ini ditujukan untuk melindungi orang-orang Alawi dari mayoritas yang lebih kuat. Beberapa berpendapat bahwa Prancis sebenarnya ingin membagi populasinya untuk menghambat dorongan nasionalis yang muncul di wilayah perkotaan.
Bendera Negara Alawi di bawah Prancis |
Pada 1 Januari 1925, Negara Suriah didirikan atas gabungan Damaskus dan Aleppo. Negara Alawi dan Lebanon tidak dilibatkan.
Pemberontakan Besar Suriah berlangsung selama dua tahun dari 1925 hingga 1927 untuk menentang kekuasaan Prancis. Berawal dari pemberontakan kaum Druze di wilayah Jabal Druze oleh Sultan al-Atrash, pemberontakan ini menyulut benih nasionalis di wilayah Aleppo dan Damaskus. Peristiwa ini, bagi kaum Druze, bukanlah pergerakan untuk kesatuan Suriah, namun hanya sebatas pemberontakan atas kekuasaan Prancis.
Masyarakat Alawi di pedesaan nyaris tidak tersentuh oleh pemberontakan besar ini. Prancis memanfaatkan kaum agama minoritas dan mengisolasi mereka dari gerakan nasionalis. Banyak orang Alawi yang bergabung dalam pasukan Prancis. Itamar Rabinovich mengungkapkan tiga kemungkinan penyebab masyarakat Alawi tidak terlibat dalam pemberontakan:
1. Dominasi Alawi di wilayah mereka tidaklah sempurna. Negara Alawi memiliki populasi Sunni dan Kristen yang cukup besar dan kebanyakan tinggal di ibukota Latakia. Pemilik tanah yang Sunni mempekerjakan petani yang Alawi. Dominasi ekonomi oleh kaum Sunni ini membuat kaum Alawi tidak tertarik pada gerakan nasionalis kaum Sunni.
2. Masyarakat Alawi hidup terpecah. Petani Alawi bersikap individualis.
3. Keterasingan, kemiskinan, dan susunan sosialnya menunjukkan keterbelakangan orang-orang Alawi, ditambah dengan kuatnya solidaritas komunitas dan perasaan eksklusif.
Pada 1930, Negara Alawi berganti nama menjadi Provinsi Latakia hingga 1936. Pada 3 Desember 1936, Negara Alawi digabungkan ke dalam Suriah dan diserahkan dari Prancis kepada Blok Nasionalis (partai penguasa Pemerintah Suriah yang semiotonom). Barulah pada 1945, setelah Perang Dunia II berakhir, Suriah menjadi negara yang merdeka.
Kondisi pada Perang Sipil Suriah
Beberapa pengamat menyatakan bahwa terdapat kebolehjadian adanya tindakan balas dendam pada kaum Alawi yang mengakibatkan terbentuknya kembali Negara Alawi sebagai suaka bagi Assad dan keluarganya jika Damaskus runtuh. Raja Abdullah II dari Yordania menyatakan bahwa hal tersebut adalah skenario paling buruk yang berimbas pada krisis tidak berujung: terpecahnya negara atas dasar sektarian, yang berakibat buruk bagi kestabilan regional.
Peta sektarian di Suriah |
Lima Alasan Negara Alawi Tidak Akan Berdiri di Suriah
Oleh: Joshua Landis pada 21 Juli 2012
Akankah kaum Alawi mencoba mendirikan Negara Alawi di Pegunungan Pantai Suriah? Berikut ini lima alasan utama bahwa Negara Alawi tidak akan berdiri di Suriah.
1. Kaum Alawi telah mulai meninggalkan pegunungan dan hidup di perkotaan. Setelah Prancis menaklukkan Suriah pada 1920, sensus terawal menunjukkan pemisahan kependudukan yang amat dalam antara Sunni dan Alawi. Tidak ada kaum Sunni dan kaum Alawi yang hidup bersama dalam kota yang penduduknya di atas 200 jiwa. Kota-kota pelabuhan seperti Latakia, Jabla, Tartus, dan Banias dihuni oleh mayoritas Sunni bertetangga dengan kaum Nasrani, tanpa bertetangga kaum Alawi. Hanya di Antiokh di mana kaum Alawi tinggal di kota dan kota tersebut merupakan ibukota dari daerah otonom Iskandarun (Alexandretta, sekarang Hatay) yang diserahkan pada turki tahun 1938. Baru pada tahun 1945 kaum Alawi terdaftar sebagai penduduk Damaskus sebanyak 400 jiwa. Bahkan sejak akhir era Utsmani, kaum Alawi mulai menuruni pegunungan dan berbaur dengan penduduk kota. Pembentukan Negara Alawi dan rekrutmen tentara besar-besaran dari kaum Alawi pada masa pendudukan Prancis mempercepat proses urbanisasi dan percampuran kepercayaan di daerah kota. Pada masa Assad, proses urbanisasi ini berlangsung lebih cepat karena mereka diperbolehkan masuk ke universitas dalam jumlah besar dan mencari pekerjaan di semua kementerial dan lembaga negara untuk pertama kalinya.
2. Rezim Assad berupaya memecahkan masalah sektarian dengan meleburkan kaum Alawi ke dalam masyarakat Suriah sebagai "muslim". Rezim mempromosikan adanya negara sekuler dan mencoba menekan sejumlah tradisi yang melambangkan identitas Alawi yang berbeda. Tidak ada institusi formal pernah didirikan untuk kebudayaan, agama, maupun identitas khusus Alawi. Assad tidak pernah mencoba membuat Negara Alawi. Rezim Assad melawan keterbelakangan dengan menganggap kaum Alawi sebagai "muslim biasa". Bashar al Assad menikahi Asma Akhras yang Sunni dalam rangka membangun negaranya sebagai contoh dari integrasi. Ia mengklaim bahwa membawa pandangan "sekuler" untuk Suriah.
Bashar al-Assad dan istrinya Asma |
3. Assad belum pernah melakukan apa-apa untuk membangun dasar Negara Alawi. Tidak ada infrastruktur nasional untuk menopang suatu negara di pesisir Suriah: tidak ada bandara internasional, tidak ada pembangkit listrik, tidak ada industri barang kebutuhan, dan tidak ada yang bisa digunakan untuk membangun ekonomi suatu negara.
4. Tidak ada negara yang akan mengakui Negara Alawi.
5. Paling jauh, Negara Alawi tidak dapat bertahan. Siapa pun yang menguasai Damaskus akan menguasai seluruh Suriah dalam waktu singkat karena mereka punya dana, punya legitimasi, dan punya dukungan internasional. Suriah tidak dapat bertahan tanpa pantainya. Paling penting, Suriah tidak akan bertahan tanpa pantai dan tanpa kota pelabuhan Latakia dan Tartus. Semua kota pelabuhan masih mayoritas Sunni hingga kini.Galeri
Spanduk dukungan kepada Bashar al Assad di desa Alawi Nuzhah, sebelah barat Homs. Tampak pemimpin Hizbullah Lebanon Hasan Nasrallah. (2012) |
Bashar al Assad salat di Masjid Damaskus pada perayaan Maulid Nabi 1435H |
Demonstrasi pro-Assad di Daraa, 2014 |
Benarkah anak-anak pengungsi di Latakia ini meminta bantuan TNI? |
Demonstran anti-Assad yang juga mengenakan bendera Libya setelah kejatuhan Qaddafi |
Maher Zain dalam konser dukungan untuk Free Syrian Army (FSA), anti-Assad |
"The Nusayris: An Extremist Shi'i Sect". (http://mahajjah.com/8-the-nusayri-trinity-ali-muhammad-and-salman-al-farisi/, diakses pada 28 Februari 2016)
0 komentar:
Posting Komentar